Rabu, 21 Oktober 2015

Kabut Asap vs Kentut

 

Kabut asap itu seperti kentut.

Iya, sama! Sama-sama mengganggu.
Pun setelah terjadi, jarang ada yang mau mengaku sebagai penyebabnya.

Samakan?

Cuma bedanya kalo kentut paling tercium sebentar.
Tapi kalo kabut asap, mana ada yang cuma 5 menit tercium.

Asal Mula Kabut Asap
Kata ayah, dulu, duluuu sekali, kabut asap tidak ada.
Sekering apapun kemarau yang singgah di kota kami, paling-paling dampaknya hanya ayah jadi jarang mandi dan gosok gigi.

Seingat ayah, kabut asap mulai singgah di saat album Metallica "Black" masuk ke Indonesia.

Eit, tunggu dulu. Itu bukan berarti Metallica yang jadi tukang bakar lahan dan hutan.
Metallica hanya membakar semangat ayah kala itu. 

Ayah ingat, di saat itu album Metallica terlambat masuk ke Pontianak, karena tidak ada satupun transportasi yang bisa masuk ke kota karena terhalang kabut asap.

Ini kalo ingatan ayah baik. Maklum saja, ayah kan pelupa.

Beberapa tahun setelahnya, kabut asap singgah lagi di kota kami. Tepatnya (kalo ingatan ayah benar) tahun 1997. Ayah ingat, karena ayah diare di tahun itu....preet.

Saat itu, banyak yang bilang, kabut asap disebabkan karena petani tradisional membuka lahan untuk ladang berpindah. Tapi ayah tidak percaya itu.
Dan ayah juga mengingatkan Faza untuk tidak percaya itu!

Karena logikanya begini...kata ayah lagi.
Petani tradisional sudah sejak turun temurun melakukan bakar lahan.
Dan selama itu, tidak satu kalipun kabut asap menutup satu apalagi banyak kota.
Ayah yakin, petani tradisional memegang teguh adat istiadatnya dan menjaga alam sebagai sumber kehidupannya. Jadi tidak akan pernah mereka asal membakar.

Dan benar saja...masih menurut ayah.
Sekarang terbukti bukanlah petani tradisional penyebabnya.
Karena jika memang benar petani tradisional penyebabnya, artinya tahun ini petani Kalimantan sudah membuka lahan di Sumatera dan Papua.

Masuk akal? Ya tidaklah!
Lahan di Kalimantan masih luas, kenapa harus ke Sumatera dan Papua?
Lagipula, masa sih petani tradisional punya modal buka lahan di luar pulau Kalimantan.

Jadi, kata ayah, kabut asap mulai muncul ketika ada orang bermodal besar yang mulai bertanam di lahan yang besar. Jelas bukan lahan mungil yang digarap petani tradisional.

Saking besar modalnya, ia bisa membuka lahan tidak hanya di Kalimantan, tapi juga ke pulau-pulau lainnya. Maka makin seringlah kita mendengar berita kabut asap menyelimuti kota-kota di Indonesia.

Jadi jangan pernah sekali-kali menyalahkan petani tradisional!
Begitu tekan ayah ke Faza.

Ekspor ke Tetangga
Ekspor itu, kata ayah, mengirim/menjual suatu produk ke luar negeri.
Nah, kata ayah, produk kabut asap kita sudah sampai ke manca negara.

Patutkah Faza bangga akan hal ini?
Jelas tidak. Jangan sampai!!!

Sebab, kata ayah, ibarat kentut, Faza tidak bisa berbangga hati ketika kentut Faza terdengar dan tercium oleh tetangga!!!

Malu.

Aib itu!!!

Walaupun kentut itu kodratnya perut, kentut bukanlah prestasi.
Maka kentutlah secukupnya.
Dan dengan cara yang beradap.
Jangan didepan muka orang lain.

Tapi kentut jelas beda dengan kabut asap.
Yang menciumnya bakal terus menghirupnya berhari-hari.
Tidak peduli di luar ataupun di dalam rumah.

Sudah banyak yang meninggal ataupun sakit karena kabut asap.
Dan ayah percaya, yang sakit lebih banyak jumlahnya dari berita di TV.
Karena jumlah di TV adalah jumlah orang yang masuk rumah sakit.
Sedang ayah percaya, banyak orang yang tidak merasa sanggup untuk sekedar ke dokter apalagi ke rumah sakit. Jadi mereka tidak dihitung.

Kerugian tidak hanya dirasakan oleh manusia. Ayah percaya, banyak habitat alam yang rusak karena kabut asap. Kasihan para hewan yang pasti tidak bisa melindungi dirinya dengan masker seperti manusia.

Salah Siapa?
Jadi, Faza tanyakan lagi ke ayah. Kalau begitu, kabut asap ini salah siapa?
Ayah bilang, jangan diusik ini salah siapa. Sebab mana bisa orang bermodal besar disalahkan? Kalaupun tertangkap tangan, mereka pasti bisa berkelit dengan membagi-bagi modal besarnya.

Yah sudah. Relakan saja ...
Semoga, jika tidak di dunia, di akhirat mereka bisa dapat ganjaran yang setimpal.

Preet...uhuk, uhuk....ayahpun menutup kotbahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar